[SMA Smipa] catatan pertemuan sosialisasi awal

Kelompok Belajar [SMU] Semi Palar : sekolah tanpa sekat

Pada hari Sabtu tanggal 1 November 2014, saya berkesempatan untuk belajar bersama perihal konsep pendidikan Semi Palar. Bertempat di pendopo Semi Palar yang teduh,  pada pukul 10:15 dimulailah sosialisasi dan diskusi konsep kelompok belajar Semi Palar yang bertujuan untuk memaparkan konsep SMU kepada orang tua siswa Semi Palar (khususnya kelas 9) dan beberapa perwakilan komunitas yang  menjadi mitra belajar Semi Palar.

 

 

Acara dibuka langsung oleh koordinator Semi Palar yaitu kang Andy, dengan menyampaikan pengantar penting bahwa konsep yang akan disampaikan pada hari ini adalah kelompok belajar karena pada tingkat SMU tidak akan ada kelas dalam bentuk ruang khusus seperti pada jenjang pendidikan sebelumnya, namun kelasnya ada dimana-mana sesuai dengan tema belajar yang akan dipelajari.

Tidak lupa kang Andy juga berterima kasih kepada orang tua yang telah hadir serta perwakilan komunitas yang hadir yaitu kang Sani dari WWF, kang Galih dari Wanadri, kang Yala dari Rumah Musik Harry Roesli dan teh Vivi dari komunitas Langit Selatan.  Hadirnya orang tua serta komunitas mitra dalam diskusi konsep jenjang pendidikan SMU Semi Palar mencerminkan prinsip egaliter dan tradisi pendidikan holistik yang telah dikembangkan oleh Semi Palar, yaitu melibatkan seluruh pihak dalam pengembangan konsep dan proses pendidikan, dimulai dari siswa, orang tua, jajaran tim Semi Palar hingga komunitas. Pendidikan bukan sesuatu yang bersifat elitis, karena prosesnya dialami dan dijalankan bersama seluruh pihak yang mungkin terlibat.

Pemaparan kemudian dilanjutkan dengan melakukan refresh mengenai perjalanan 10 tahun Semi Palar. Dimulai dari modal nekat dan gila (kang Andy mengaku dianggap gila oleh keluarga karena memulai sekolah dari nol tanpa ahli pendidikan),  Semi Palar mampu bertahan, bahkan bertumbuh dan berkembang hingga akhirnya mencapai tahap SMP.  Salah satu ciri khas dari pendidikan Holistik yang berjalan dalam 10 tahun terakhir adalah prinsip mengalir dan bertumbuh, berevolusi merespon pengalaman dan penghayatan riil dari proses pendidikan yang dijalani bersama. Dimulai dari keinginan yang kuat mewujudkan Visi besar, trial & eror dalam menjalankan konsep pendidikan, berbagai asumsi skenario dan hasil pendidikan yang diharapkan, toh Semi Palar akhirnnya tetap berjalan, bertumbuh dan sampailah pada tahap merespon kebutuhan akan adanya jenjang pendidikan di tingkat SMU. Kang Andy sendiri menceritakan bahwa dari proses yang dialami itulah tim Semi Palar kemudian baru mulai fokus untuk mendokumentasikan sistem dan struktur yang telah dijalani kira-kira 2 tahun terakhir.

Cerita kang Andy kemudian beralih pada ketakjubannya akan hasil-hasil yang telah dicapai oleh siswa Semi Palar. Kang Andy menceritakan tentang siswa kelas 6 SD telah mampu membuat rancang bangun listrik (seri-pararel) dengan konsep aplikasi pada ruang, beberapa contoh yang diceritakan memang membuat geleng-geleng kepala saya sendiri dan saya sepakat dengan kebingungan kang Andy, bahwa bagaimana ya caranya menilai tugas tersebut karena dulu waktu kelas 6 SD saya juga sama tidak bisa membuat tugas seperti itu.  Salah satu bentuk proses belajar lain yang dipaparkan adalah tugas kelas 7 untuk blusukan ke salah satu area DAS Citarum, disana siswa diajak untuk melihat, mengenal dan mengidentifikasi permasalahan lingkungan hidup. Setelah mampu mengidentifikasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi, siswa difasilitasi agar dapat menngembangkan solusi bagi permasalahan yang dijumpai.  Contoh terakhir yang dipaparkan adalah perjalanan menelusuri jejak Mataram, tugas yang diberikan pada kelas 8. Perjalanan ini merupakan bagian dari konsep belajar tematik untuk kelas 7-9 dengan mengangkat tema spasial Bandung – Jawa dan wawasan Nusantara untuk kelas 9. Pada tema spasial Jawa, siswa kelas 8 difasilitasi untuk melakukan perjalanan ke Jogja dan menelusuri sejarah Mataram. Perjalanan yang dialami oleh siswa bukan perjalanan dengan konsep studi tour pada umumnya, namun juga dikonsep sedemikian rupa untuk memfasilitasi siswa belajar holistik dengan aturan-aturan yang diberikan, seperti berlatih mengelola dana perjalanan (5 hari 600 ribu rupiah), menginap tidak di hotel, hanya diberi satu  Handphone jadul untuk tiap satu kelompok dan lain sebagainya. Terbukti siswa mampu mengatasi tantangan tersebut dan menikmati perjalanan belajar mereka di Jogja, hasil belajar yang sangat menarik menurut saya adalah bukan sekedar laporan perjalanan tertulis namun juga diekspresikan dalam bentuk lagu, kerenn! Pada akhir diskusi saya diberi CD album lagu hasil refleksi perjalanan kelompok Marlin.  Oh ya,  untuk informasi mengenai perjalanan siswa kelas 8 tersebut dapat dilihat pada tautan ini  http://semipalar.sch.id/?p=3123 .

Sampailah pemaparan kang Andy pada konsep kelompok belajar (SMU) Semi Palar. Dimulai dari merespon kebutuhan siswa kelas 9, akankah perjalanan mereka berhenti dan dilanjutkan ke sekolah “konvensional” atau Semi Palar memfasilitasi kisah perjalanan belajar mereka pada tingkat SMU.  Urun rembug mengenai mimpi mewujudkan jenjang pendidikan SMU Semi Palar dimulai pada tanggal 21 Juni 2014 melalui forum berbagi mimpi, yang dapat dilihat lebih lanjut di tautan ini http://semipalar.sch.id/?p=3205 . Setelah berdiskusi dengan beberapa pihak termasuk pihak yayasan dan merancang konsep dasar SMU Semi Palar, maka kang Andy menyatakan bahwa rumah belajar Semi Palar akan melanjutkan jenjang pendidikan SMU. Berkaca pada pengalaman 10 tahun terakhir, kalau hanya menunggu dan banyak berpikir ini itu maka tidak akan dimulai-mulai.

springpad-photo-6Salah satu prinsip dasar yang dikemukakan kang Andy dalam menceritakan konsep SMU adalah kutipan dari Deepak Chopra yaitu “Instead thinking outside the box, get rid of the box” yang kurang lebih artinya adalah daripada sibuk berpikir di luar kotak (dimana kita sebenarnya masih berada dalam kotak), kenapa tidak sekalian menyingkirkan kotaknya dan membawa kita pada pengalaman yang sama sekali baru. Prinsip tersebut yang kemudian mengilhami konsep sekolah tanpa ruang kelas pada jenjang SMU Semi Palar.  Daripada sibuk berpikir ini itu untuk beradaptasi pada kurikulum nasional, kenapa tidak sekalian lepas sepenuhnya dari kurikulum nasional? Daripada menciptakan ruang-ruang belajar seperti pola pendidikan konvensional, mengapa tidak kita runtuhkan sekat tesebut sepenuhnya dengan memfasilitasi siswa untuk belajar langsung di lapangan.

Sekolah tanpa sekat di tingkat SMU merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan siswa dalam narasi pendidikan holistik yang telah dijalani pada jenjang sebelumnya. Setelah pada jenjang SMP siswa mulai diajak mengenal dan bersentuhan dengan realitas disekitarnya secara langsung, maka tidak tanggung-tanggung  pada kelas 10-12 nanti siswa diajak untuk merancang kebutuhan belajarnya sendiri dan berkesempatan belajar langsung dari pihak-pihak yang berkompetensi pada bidang belajar yang diminati siswa.  Sebagai pembanding, kang Andy mencoba memaparkan pengalaman salah satu putri nya yang bersekolah pada jenjang SMU di sekolah Swasta di Bandung. Kang Andy melihat bahwa proses belajar di tingkat SMU menjejalkan seluruh (sebanyak-banyaknya) pengetahuan pada siswa, dan siapa tahu pengetahuan tersebut ada yang bermanfaat bagi siswa, ujung-ujungnya juga untuk dapat lulus siswa harus dijejali lagi dengan pelajaran tambahan menjelang ujian. Banyak waktu yang terbuang dari siswa hanya untuk menelan dan menyerap seluruh pengetahuan tersebut. Sudah saatnya pada jenjang tersebut siswa membangun kompetensi yang lebih spesifik sesuai minat dan bidang keahlian tertentu.

Konsep belajar tersebut di atas kemudian dikembangkan dalam bentuk operasional dengan berkolaborasi bersama komunitas untuk menajamkan kompetensi tematik, dan belajar bersama akademisi untuk menajamkan kompetensi akademik yang diperlukan untuk mendukung hal-hal yang dipelajari bersama komunitas. Siswa difasilitasi penuh untuk berinteraksi dan belajar bersama masyarakat.  Manfaat yang didapat dengan berkolaborasi bersama komunitas adalah dapat turut mendukung misi edukasi dan kaderisasi komunitas di tengah masyarakat, selain itu dalam masyarakat akademis diharapkan ruang belajar yang ada dapat memfasilitasi akademisi dalam aplikasi keilmuan dan interaksi bersama masyarakat.

Dalam konsep belajar seperti ini, peran guru dan tim Semi Palar akan lebih banyak menjadi fasilitator dan merancang alur belajar secara umum, untuk kemudian dapat direncanakan bersama siswa.  Tidak lupa di akhir pemaparan kang Andy juga menyampaikan bahwa konsep belajar yang sangat eksploratif seperti ini cukup pas untuk dilakukan pada tahap SMU, karena secara psikologis telah cukup dewasa, namun juga belum masuk ke tahap spesifik seperti perkuliahan yang menuntut anak untuk mulai menentukan banyak hal.

Bagaimana dengan kurikulum nasional dan kebutuhan administratif sebagai sekolah? Kang Andy menekankan bahwa kebutuhan administratif kelulusan siswa untuk mendapat ijasah akan dicarikan solusinya dengan ujian persamaan,  untuk dapat memastikan siswa mendapat kesempatan melakukan ujian persamaan, maka kemudian SMU didaftarkan pada diknas dengan label home schooling komunitas.  Untuk memfasilitasi pandangan siswa, akan diadakan forum berbagi pandangan bagi siswa kelas 9 yang diadakan pada tanggal 5 November 2014.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi tanggapan dari komunitas terhadap konsep yang telah dipaparkan oleh kang Andy. Secara umum keempat perwakilan komunitas yang hadir menyatakan mendukung penuh inisiatif kolaborasi serta konsep pembelajaran yang dipaparkan.  Seluruh perwakilan komunitas juga menyampaikan bahwa konsep pembelajaran seperti ini menjawab keresahan mereka akan proses pendidikan konvensional yang telah mereka lalui, adalah hal yang luar biasa apabila dapat memfasilitasi siswa keluar dari belenggu pendidikan konvensional yang ada selama ini.

C360_2014-11-01-11-35-39-364Sharing pemikiran yang paling menarik menurut saya adalah mengenai konsep mabal (bolos) yang diutarakan oleh kang Galih dari Wanadri. Beliau menyatkan bahwa dulu saat kita sekolah kita selalu mencoba mabal, untuk mencari pengalaman hidup di luar ruang sekolah (saat jam pelajaran berlangsung), dari proses mabal tersebut banyak sekali pengalaman yang didapat, namun apakah proses mabal yang spontan dan sporadis tersebut menjamin siswa tidak terjerumus kepada hal-hal negatif? Kalau mabal ke tempat bilyar, bisa-bisa selain pengalaman bermain bilyar siswa juga bisa terjerat hal-hal lain seperti berjudi, narkoba dan lain sebagainya. Nah.. mengapa tidak kalau dulu mabal itu kita cari-cari, sekarang melalui konsep sekolah SMU Semi Palar maka mabal ini kita ciptakan secara terorganisir bagi siswa. Siswa sepenuhnya mabal dan belajar langsung di luar sekat-sekat sekolah.  Tantangan dalam menjalankan proses seperti itu memang besar, namun sama seperti proses mendaki gunung, tim Semi Palar dan pihak terkait harus fokus. Fokus mencapai tujuan pembelajarna ideal dengan melakukan aklimatisasi (penyesuaian), belajar dari proses, memperbaiki diri dan terus menyempurnakan sistem. Justru dengan memulai melalui tim kecil, maka Semi Palar dapat menyederhanakan sistem yang ada dan secara lincah mengimplementasikan konsep yang direncanakan.  Tidak lupa kang Galih berpesan tentang pentingnya proses pembelajaran seumur hidup, bahwasanya seorang Wanadri dan manusia lain adalah makhluk yang tidak akan pernah berhenti belajar untuk dapat memaknai proses hidupnya dengan lebih baik.

Nah.. itu masih dari kang Galih, masih ada tanggapan dari 3 komunitas lain (seperti tertera di awal tulisan ini). Tanggapan lain yang menarik perhatian saya adalah pentingnya untuk menyadari isu lingkungan aktual yang bersifat lokal seperti yang dikemukakan oleh kang Sani dari WWF. Dengan konsep Education for Sustainable Development, WWF memfasilitasi masyarakat untuk dapat berpikir secara ekologis dengan memahami isu lingkungan hidup secara lokal maupun di Indonesia dan dunia. Tidak lupa kang Sani berpesan kepada para peserta diskusi untuk dapat mengunjungi Bumi Panda yaitu ruang belajar lingkungan hidup WWF yang berlokasi di jalan Gesan Ulun no 3 kawasan Dago Bandung. Lebih jauh mengenai Bumi Panda dapat dilihat di tautan berikut http://www.wwf.or.id/?30982%2FBumi-Panda-Rumah-Informasi-Lingkungan-Hidup-Diresmikan-Hari-Ini .

C360_2014-11-01-11-02-37-309

Dari sudut pandang proses berkesenian dan penghayatan budaya lokal, kang Yala dari Rumah Musik Hari Roesli mengungkapkan kegundahanannya perihal ketertinggalan Indonesia dalam dunia seni pertunjukan. Hal yang lebih fundamental yang disampaikan oleh kang Yala adalah tentang minimnya minat dari siswa SMU untuk menghargai proses dan belajar menghayati proses kreatif secara substansial, bukan sekedar kemasan. Contoh yang kemudian diangkat adalah mengenai Pentas Seni SMU yang lebih banyak menghambur-hamburkan kapital namun minim substansi dan hanya bertumpu pada proses Event Organizer, mengundang artis ibu kota sebanyak mungkin. Hal-hal mengenai ekspresi dari proses berlatih berkesenian, mencipta karya sendiri untuk diapresiasi publik sudah menjadi hal langka untuk dijumpai di Pensi tingkat SMU di Bandung.  Oleh karena itulah kang Yala juga mendukung penuh kolaborasi antara SMU Semi Palar dengan Rumah Musik Hari Roesli, agar siswa dapat turut belajar mengasah kompetensi dalam dunia seni pertunjukan, dan juga berproses bersama menghayati substansi berkesenian dan berkebudayaan.

Tanggapan kemudian dilanjutkan oleh teh Vivi yang mewakili komunitas Langit Selatan (http://langitselatan.com/ ).  Dalam tanggapannya, teh Vivi banyak memaparkan mengenai konsep belajar sains yang menyenangkan dan paradigma baru yang harus di bangun di masyarkat bahwasannya belajar dan mengalami sains itu bukan hal yang bersifat elit dan membosankan, namun dapat dinikmati oleh seluruh pihak, baik melalui jenjang pendidikan formal maupun non formal (hobi).  Konsep pemikiran yang menarik perhatian saya adalah bahwa sains merupakan gerbang pengetahuan, melalui citizen science project siswa diajak untuk menggali potensi diri sendiri dengan melakukan eksplorasi dan pengamatan ilmiah yang dapat dilakukan dengan alat-alat sederhana. Melalui sesi diskusi dan refleksi kemudian siswa difasilitasi untuk mengembangkan rasa ingin tahu dan berlatih berpikir filosofis.

Hmm… respon yang diberikan oleh rekan-rekan dari komunitas memang sangat menarik dan saya lihat saling mengisi dan memperkaya  konsep pendidikan holistik yang diangkat oleh SMU Semi Palar. Proses egaliter seperti ini terbukti sangat efektif dalam membangun partisipasi bersama dalam mencapai tujuan pendidikan holistik.

Sesi selanjutnya adalah sesi tanya jawab dan tanggapan dari peserta diskusi, terutama pihak orang tua. Dengan diiringi snack jajanan pasar dan kopi, kemudian bermunculan respon  dan pertanyaan dari orang tua.  Secara umum saya sangat terkesan dengan respon dari orang tua, saya menangkap secara substansi orang tua sangat mendukung, sehingga kemudian pertanyaan yang muncul lebih mengarah pada konsep operasional pendidikan. Pertanyaan pertama yang muncul adalah perihal bagaimana skenario kurikulumnya? Akan seperti apa proses belajarnya apabila tidak ada kelas? Kemudian kang Andy menjawab bahwa detail konsep tersebut  masih dalam tahap pengembangan, namun akan ada ruang partisipasi bagi siswa untuk merancang proses belajar sesuai apa yang ingin diketahui oleh siswa, dan merancang proses belajar sesuai dengan kebutuhan siswa. Kang Andy juga menambahkan bahwa untuk terkait dengan pendidikan karakter di sekolah, kang Andy percaya dengan kutipan pemikiran pelukis Jeihan, bahwasanya estetika akan melahirkan etika, maka dengan proses holistik yang berbasiskan estetika maka etika pun dapat turut terasah. Menurut saya proses tersebut berlangsung dua arah, apalagi dengan pendidikan yang berlangsung bersama masyarakat, siswa justru akan berkesempatan mempelajari langsung etika yang ada di tengah masyarakat dan turut mendukung pengembangan estetika belajarnya.

Pertanyaan lain yang muncul kemudian adalah mengenai skenario kesempatan ujian persamaan, yang terjawab dengan kembali memaparkan rencana awal yaitu melalui pendaftaran konsep Home Schooling tematik (untuk lepas dari kurnas) namun tetap berkesempatan mengikuti ujian persamaan. Pada intinya kang Andy menekankan ada sistem yang dapat dioptimalkan untuk memfasilitasi siswa mengakses jenjang perguruan tinggi. Tidak lupa kang Andy juga menekankan bahwa selain ujian akhir, pada setiap proses belajar yang telah dilalui siswa diajak untuk membuat portofolio pembelajaran yang dapat menjelaskan beragam kompetensi yang telah dicapainya. Portofolio kemudian menjadi penting untuk juga dapat mengakses beragam kesempatan lepas jenjang pendidikan SMU.  Beberapa hal lain yang muncul adalah skenario pembiayaan sekolah, dimana melalui topik ini kemudian dipaparkan secara singkat beberapa konsekuensi biaya yang muncul adalah untuk kebutuhan uang pembangunan gedung, lalu operasional kelas dialihkan kepada operasional persiapan belajaar, operasional perjalanan ke komunitas dan biaya saat berkolaborasi bersama komunitas.

Saya sendiri mendapat kesempatan untuk merespon diskusi, dalam kesempatan tersebut saya mengungkapkan 3 hal. Pertama adalah tentang curi start dan akselerasi. Di saat Diknas sedang tertatih-tatih mengembangkan kurikulum tematik aplikatif (yang salah kaprah diterjemahkan melalui kurikulum 2013), maka Semi Palar dengan lincah dan gesit mampu menerjemahkannya dan berlari jauh kedepan memfasilitasi siswa untuk belajar mengasah kompetensi diri bersama masyarakat.  Proses curi start ini juga dapat dilihat sekurang-kurangnya dari apa yang saya telah amati dan alami pada beberapa Universitas, ada universitas yang juga mengembangkan konsep sama yaitu dengan kurikulum kuliah 70% belajar dari praktisi bisnis (wirausaha) dan 30 % keilmuan. Di kampus tempat saya beraktifitas, usaha-usaha memfasilitasi mahasiswa untuk keluar dari sekat pembelajaran kelas dan berinteraksi bersama masyarakat juga dilakukan, namun saya akui tidak seprogresif rencana yang direncanakan oleh rekan-rekan Semi Palar.

Hal kedua yang saya sampaikan adalah perihal kompetensi. Di era masyarakat ekonomi ASEAN, yang diterjemahkan lebih spesifik pada leburnya sekat ekonomi antara negara ASEAN (Asean Free Trade), maka kompetensi dan pengakuan terhadap kompetensi adalah hal yang utama. Indonesia masih tergagap-gagap menerjemahkan persiapan kompetensi tersebut melalui beragam sertifikasi kompetensi berbasis asosiasi lulusan (Insinyur, Sipil, Arsitek, Otomotif, Kesehatan, dsb). Selain itu perguruan tinggi juga dalam tahap penyesuaian kurikulum berbasis KKNI (kurikulum nasional berbasis kompetensi). Semua hal tersebut dilakukan untuk mempersiapkan SDM dalam menghadapi persaingan masyarakat ASEAN. Lalu ketika SMU Semi Palar sudah memfasilitasi siswanya dalam mengasah kompetensi nya sejak dini, apakah hal tersebut dapat dilihat sebagai potensi besar untuk mendukung usaha pemerintah dalam mempersiapkan SDM yang berdaya saing?  (Sebagai catatan, dalam konsep pendidikan holistik sebenarnya saya melihat adanya nilai-nilai yang lebih positif dibandingkan dengan nilai persaingan dan kompetisi, namun pada tanggapan saya ini saya hanya menspesfikkan dalam bidang pengembangan kompetensi, bukan paradigma berpikir globalisasi dan persaingan dalam masyarakat ekonomi ASEAN)

Hal terakhir yang saya coba sampaikan adalah substansi dari pendidikan tanpa sekat bukan hanya pada penghilangan sekatnya, namun juga untuk mengembalikan fitrah proses belajar manusia pada awalnya yaitu belajar bersama-sama di tengah masyarakat, tumbuh serta  belajar bersama masyarakat tempat manusia tersebut hidup dan kemudian proses belajar dikembangkan untuk mampu merespon tantangan serta kebutuhan masyarakat.  Sedikit menambahkan untuk rencana melakukan simulasi proses belajar SMU di Semi Palar yang diminta oleh orang tua, rekan-rekan Semi Palar juga dapat melihat proses belajar tanpa sekat yang telah dijalankan oleh komunitas belajar Qoryah Toyyibah di Salatiga. Disana proses belajar tanpa sekat sudah berlangsung cukup lama, dengan pada awalnya merespon kebutuhan serikat petani untuk mengembangkan pendidikan holistik sesuai kebutuhan masyarakat petani itu sendiri.

Setelah sesi pemaparan tersebut, kemudian diskusi kembali mengalir dan secara formal acara diskusi ditutup oleh kang Andy. Setelah ditutup, terlihat antusiasme orang tua untuk mendiskusikan beberapa hal kepada kang Andy dan beberapa peserta diskusi lain, memang mungkin inilah buah dari ruang egalitarian dan partisipatif yang dikembangkan oleh Semi Palar, orang tua yang selalu dilibatkan dalam pengembangan proses belajar anak kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dalam bertumbuhnya Rumah Belajar Semi Palar itu sendiri.

Selamat datang Rumah Belajar tanpa sekat (SMU) Semi Palar. Semoga mimpi, visi dan rencana yang dikembangkan dapat terus bertumbuh bersama masyarakat mitra yang terlibat dalam proses pendidikan yang dijalankan.

 

Bandung 2 November 2014

Agni Yoga Airlangga, peserta diskusi dan sosialisasi sekolah tanpa  sekat

Tagged , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.