Tanggap Bencana di Rumah Belajar Semi Palar

2-ayo-siaga-madya-1-638

Di tanah air, kesiapsiagaan terhadap bencana masih rendah. Hal ini berbeda dengan masyarakat Jepang yang sejak dini sudah dibiasakan untuk waspada dan siaga terhadap berbagai potensi bencana. Akhir-akhir ini, bermacam jenis bencana singgah di Tanah Air. Mulai dari Gempa di Palu, Sulawesi Tengah, Tsunami di Banten dan Palu, banjir di Medan dan Jogjakarta, banjir bandang di Pacitan dan Lombok Timur dan meletusnya Gunung Agung dan Gunung Anak Krakatau. Karena Indonesia bagian dari kepulauan yang secara geografis terletak di antara tiga lempeng besar (Eurasia, Indoaustralia, dan Pasifik), negeri ini rentan akan bencana alam. Selain itu, Indonesia juga masuk dalam zona ring of fire sehingga berbagai bencana bisa terjadi kapan saja. Semua faktor itu tentunya mendekatkan negeri ini dengan berbagai kemungkinan bencana yang ada, di mana semestinya masyarakat perlu lebih akrab mengenal alam dan berbagai potensinya.

Kita bisa melihat dan belajar dari negara dengan tingkat kewaspadaan bencana (emergency preparedness) yang cukup tinggi, misalnya Jepang dan Filipina. Di Jepang, pendidikan kebencanaan sudah diterapkan sejak di bangku sekolah dan masuk kedalam kurikulum nasional. Begitu pula dengan di Filipina.

CsrBo1dUEAQewSc

Rumah Belajar Semi Palar mulai lebih konsisten melaksanakan program Sekolah tanggap bencana. Fasilitas untuk menghadapi bencana juga sudah disiapkan seperti titik kumpul, kotak darurat tanggap bencana (yang isinya adalah makanan, selimut, dan air), kotak P3K, jalur evakuasi, sirene tanda bahaya, alat pemadam api, dan peluit yang di pegang oleh kakak-kakak.

Simulasi tanggap bencana pun telah mulai dilakukan oleh kakak-kakak di kelasnya masing-masing. Dari mulai materi tentang bencana sampai simulasi saat bencana terjadi. Sehingga anak-anak mulai paham apa yang harus dilakukan apabila bencana terjadi baik di rumah, maupun di sekolah.

Sebagai tambahan informasi, Prosedur Tanggap Bencana yang diberlakukan saat terjadi bencana adalah mematikan Saklar Listrik Utama dan membunyikan sirene tanda bahaya. Tim Mujaer dan kakak Smipa sudah mendapatkan arahan mengenai hal-hal tersebut. 

Agar Sirene Tanda Bahaya bisa tetap berfungsi walaupun Saklar Listrik Utama dimatikan, sumber listrik untuk sirene diambil dari Baterai yang terus diisi ulang oleh Panel Surya (Solar Panel) – yang beberapa waktu lalu dirakit bersama oleh orangtua dan teman-teman Smipa

Semoga hal-hal yang dipersiapkan bisa membantu kita semua menghadapi bencana. Akhirnya tentunya kita berdoa agar Yang Kuasa senantiasa menempatkan kita semua dalam lindunganNya… Amin…  

Terimakasih semuanya….. sampai bertemu lagi…… 🙂

Liputan : Mutiara Zahwa
Editor : kak Andy

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.