Pendidikan – sebuah esai

 
Tulisan ini adalah tulisan yang disampaikan kak Asta (sekarang fasilitator kelompok Nautilus) pada saat mengajukan aplikasi untuk bergabung dengan Rumah Belajar Semi Palar. Semoga ikut memperkaya khasanah dan wawasan kita, khususnya yang menyempatkan diri untuk membacanya. Salam. 

 

learning is funPendidikan adalah hal dasar yang perlu dimiliki setiap manusia untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai makhluk yang berakal. Pendidikan sesungguhnya tidak dilakukan saat seorang anak dianggap sudah mampu menerimanya. Bahkan seorang bayi sekalipun saat masih di dalam kandungan sudah dapat mengakses pendidikan dari orang tuanya. Namun tentu pembahasan ini kemudian saya persempit menjadi pendidikan di dalam sekolah formal.

Dalam dunia pendidikan formal,terdapat dua objek utama yang menjadi sorotan, yaitu pendidik dan peserta didik. Pendidik haruslah memiliki motif yang kuat untuk menjalankan tugasnya. Karena ini adalah tanggung jawab besar. Materi yang sama setiap tahun yang harus diberikan kepada siswa bukan perkara yang mudah jika kejenuhan sudah melanda. Peserta didik diharapkan pula memiliki minat untuk terus mengembangkan dan memperkaya diri di sisi keilmuan. Saat dua objek utama ini bersinergi untuk mencapai tujuan tersebut maka pendidikan yang berkualitas dan bermanfaat tentu dapat diraih oleh bangsa ini.

Menurut Ki Hajar Dewantara,salah satu tokoh yang menjadi pelopor di dunia pendidikan kita menyatakan bahwa pendidikan adalah segala daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan mayarakatnya.

Merujuk kepada kutipan tersebut,bahwa pendidikan untuk memajukan budi pekerti, saya menilai bahwa pendidikan merupakan suatu proses terhadap peserta didik yang berlangsung terus sampai anak didik sudah mencapai pribadi dewasa susila. Dalam proses ini pendidik diharapkan sebagai fasilitator untuk peserta didik agar dapat mencapai tujuannya.

Di indonesia, pendidikan formal lebih banyak dilakukan searah yaitu dari pendidik kepada peserta didiknya. Berdasarkan kurikulum yang telah dibuat,peserta didik dituntut untuk mampu menyelesaikan satuan pendidikan dalam kurikulum tersebut dengan nilai sebagai pencapaian akhirnya. Sayangnya proses seperti ini tidak selamanya mampu mencetak manusia manusia dengan jiwa berdaya saing tinggi karena terkadang pendidik tidak melibatkan peserta didik untuk berperan aktif dalam proses belajar mengajar. Hasilnya?, peserta didik cenderung bosan dan ogah lagi datang ke sekolah. Menurut saya, materi yang disampaikan oleh pendidik mula-mula diterima oleh pendengaran kemudian penglihatan dan akan semakin kuat jika dibarengi dengan keterlibatan atau adanya interaksi yang efektif antara pendidik dan peserta didik.

Anak sebagai peserta didik di usia belia memiliki tingkat curiositas yang tinggi terhadap berbagai hal terutama yang mereka lihat sehari-hari. Keinginan peserta didik untuk belajar menurut saya dapat dibangkitkan melalui rasa penasarannya yang tinggi tadi, bagaimana ia ingin tahu tentang banyak hal.

Sebelum menulis essai ini dan tersaji kepada Bapak/Ibu saya telah membuka situs semi palar dimana terdapat salah satu artikel berjudul ‘hari-hari matematika di Tarsius’ yang amat memukau saya. Saya seperti ingin mengulang kembali saat saya di bangku sekolah dasar, dan saya ingin mengulanginya di semi palar. Bukan hal yang mudah bagi saya untuk tertarik kepada artikel pendidikan yang terdapat di blog atau website suatu instansi pendidikan karena biasanya tulisan tersebut mengeksplorasi sisi sekolahnya bukan kepada kreatifitas siswa. Pada saat membaca artikel tersebut saya mengesampingkan gaya kepenulisan yang mungkin saja hal tersebut yang membuat saya terpukau. Membacanya membuat saya turut masuk ke dalam kelas dan berinteraksi dengan siswa dan juga kakak kakaknya. Saya menilai di dalam kelas tersebut mereka tidak dipaksa untuk belajar.mereka hanya mengikuti jejak jejak kecil yang kemudian dengan rasa penasarannya mereka semakin tertarik untuk menggali lebih dalam. Ini yang saya maksud contoh pendidikan yang melibatkan interaksi peserta didik,bukan hanya sebagai objek penerapan kurikulum.

Saya turut tersenyum ketika mereka kepusingan menghitung tahun yang berjumlah ribuan dan kemudian tidak mau dibahas tetapi lebih memilih untuk dicari solusinya di rumah dan pada pertemuan selanjutnya mereka dapat menganalisa bahwa benda ini ditemukan sekian ratus tahun yang lalu dan sebagainya. Setelah saya membaca artikel tersebut, saya kembali teringat pertanyaan saya tentang mengapa banyak sekali hal-hal yang menakjubkan ditemukan atau diciptakan oleh orang-orang diluar bangsa kita. Masyarakat indonesia pada umumnya hanya menjadi plagiator sejati. Kemudian beginilah jalan pikiran saya bercerita. Ohhhhh, mungkin karena pendidikan yang satu arah telah menjadikan anak bangsa selalu terbiasa disuapi. Cara belajar berhitung adalah begini, kemudian untuk sampai ke tahap anu harus melalui jalan A kemudian ke B, ke C, ke D dan seterusnya, tidak boleh melalui jalan lain. Hal ini membuat siswa menjadi terpaku terhadap cara yang itu-itu saja, dia tidak berani bereksplorasi dan meng-create hal-hal baru. Padahal selama ini, alat-alat canggih yang sudah ada berdasarkan ide gila sang penciptanya.

Berdasarkan pengamatan ini pula, Saya sepakat terhadap pernyataan, bahwa universitas boleh bobrok tapi jangan sekolah dasarnya. Karena disinilah mereka dibangun dan dibentuk. Jika boleh saya menyatakan bahwa masa depannya bisa dilihat dari pendidikan dasarnya serta lingkungannya.

Sungguh sebuah tantangan yang besar bagi sekolah-sekolah dasar untuk dapat menjawab tantangan di masa depan dimana anak-anak bangsa akan bersaing dengan anak-anak dari bangsa lain. Apakah kita kedepannya akan semakin terjajah oleh teknologi dan pemikiran dari luar, ataukah kita mampu menjadi pribadi bangsa yang mandiri serta ditiru oleh bangsa lain. Kita adalah pelopornya bukan pengikut semata.

Saya juga pernah mengikuti kegiatan observasi kelas 4 sekolah dasar di sebuah sekolah dasar swasta di bandung. Proses belajar mengajar tidak berbeda jauh dengan saya dulu hanya ditambah dengan media-media elektronik saja. Selama mengobservasi saya melihat kecenderungan anak-anak untuk bermain daripada belajar. Mereka suka akan hal-hal yang sifatnya baru. Saat ibu guru sedang menerangkan materi di hadapan sejumlah siswa, beberapa siswa yang duduk di belakang sibuk memainkan pensilnya, kemudian ngobrol dengan teman sebelahnya. Persis seperti apa yang saya lakukan dulu ketika duduk di bangku sekolah dasar (jadi ketauan deh dulunya “nakal” :D). Saya aamat memahami kondisi anak tersebut yang dilanda kebosanan. Di mata pelajaran lain, anak-anak diminta untuk keluar dari bangkunya kemudian duduk bersama dilantai belakang kelas, sambil menikmati materi di slide komputer, mereka mendengarkan apa yang sedang disampaikan ibu guru, namun ditengah-tengah penyampaian materi, beberapa anak mengacungkan tangan dan memberikan sejumlah pertanyyan kepada ibu guru mereka. Begini kalau tidak salah bunyi pertanyaanya.

Siswa 1                       : “ Bu, aku mau tanya boleh?”

Guru                           : “ ya nak, apa yang ingin kamu tanyakan?”

Siswa  1                      : “ kan kata ibu barusan, buah apel yang jatuh ke bumi karena gaya gravitasi, terus kenapa katanya kalau di bulan kita datang kesana malah bisa melayang-layang, dan kalau kita jatuh ke atas bu bukan ke bawah?”

Guru                           : “Iya karena di bulan tidak memiliki gaya gravitasi seperti di bumi, Oke kita lanjutkan dulu materinya ya” Ibu guru menghentikan diskusi dan lanjut menerangkan. Tapi tetap beberapa anak masih ingin bertanya.

Siswa 1                       : “ Tapi bu, kalau pesawat kenapa dia bisa terbang?, kenapa dia ga tertarik seperti kita, kita kan ga bisa terbang bu, padahal kita sama-sama di bumi yang ada gravitasinya”

Siswa 2                       : “ ihhh kamu, itu kan karena pesawat ada sayap dan baling-balingnya kalau kita kan gak ada, iya kan bu?”

Siswa 1                       : “ iya tau tapi kenapa ga jatuh ke bumi gitu kayak apel tadi?”

Guru                            : “ Ya sudah anak-anak, pembahasan ini sudah terlalu jauh dari apa yang akan ibu sampaikan. Di kelas sebelah materi ini sudah selesai loh, kenapa di kalian materi itu ga pernah beres? Ya karena kalian suka kemana-mana bicaranya”

Kelas pun hening dan ibu guru kembali menerangkan materinya.

Dari hasil observasi tersebut saya memahami bahwa permasalahn ada di kedua belah pihak. Anak-anak dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan guru yang punya schedul untuk menyelesaikan materi (ya si kurikulum itu tadi).

Kurikulum dibuat sebagai panduan untuk mengetahui step by step bahan ajar di sekolah, membantu sekaligus menjadi beban untuk pengajar. Dilematis memang, di satu sisi ingin anak didik berpengetahuan luas di sisi lain terdesak karena kurikulum yang sebenarnya belum tersampaikan. Namun saya bisa sedikit memberikan masukan bagaimana kurikulum tidak terabaikan namun juga anak-anak tetap terpuaskan dengan rasa ingin tahunya. Bahwa guru haruslah menjadi menarik di depan kelas dan mempersiapkan pertanyaan yang mungkin muncul. Lalu untuk mengontrol pertanyaan yang kemana-mana, kita memberikan schedul kapan akan membahas itu lagi di pertemuan selanjutnya misalnya dan kita sudah mempersiapkan jawaban sertya ilustrasi yang mempermudah pemahaman mereka, pun bisa disispkan materi selanjutnya yang ada korelasinya.

Intinya rangsang pikir mereka sudah baik hanya saja itu tadi, perlu diarahkan agar benar-benar tersampaikan, mereka riang guru pun senang.

Demikian yang dapat saya sampaikan mengenai pandangan saya tetntang dunia pendidikan. Mudah-mudahan saya bisa turut bergabung menjadi salah satu fasilitator di Semi Palar.

 

Tagged , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.