Di bawah judul kolom Inovasi Pendidikan, harian Kompas hari ini memuat artikel dengan judul “Kami Bermain, Kami Belajar“. Isinya adalah liputan tentang proses pembelajaran dan apa yang dilakukan teman-teman Kelompok Andaliman menjelang peghujung semester pertama ini. Proyek merancang board game ini dalam rangka memelajari dinamika sejarah Indonesia khususnya di pulau Jawa digagas dan difasilitasi oleh kak Danti dan kak Fitri.
Ada 4 kelompok masing-masing dengan gagasan, konsep dan rancangan permainan board game yang berbeda. Kesemuanya tentang sejarah, dan dalam prosesnya mereka dengan antusias memelajari fakta-fakta sejarah, rangkaian peristiwa, tokoh, waktu dan tempat dan mencari tahu bagaimana signifikansi masing-masing peristiwa tersebut. Di suatu titik, para kakak juga mengundang teman-teman dari Kummara (sebuah perusahaan – industri kreatif yang dipimpin Eko Nugroho, di dalamnya berkumpul anak-anak muda yang mengeksplorasi dunia permainan). Rekan-rekan dari Kummara sempat 3 kali bergantian hadir di Semi Palar berdiskusi, bermain dan memberi masukan kepada teman-teman Andaliman tentang bagaimana merancang sebuah boardgame yang baik. Selain itu, Andaliman juga sempat mempresentasikan boardgamenya di kegiatan publik Bincang Edukasi yang juga dihadiri pembicara Prof. Scot Osterweil. Dalam prosesnya ini, kebetulan rekan reporter Kompas, Didit Putra Erlangga mengikuti sebagian prosesnya baik di kelas maupun saat di Bincang Edukasi.
Berikut narasi berita seperti yang dituliskan rekan Didit di bawah ini.
Kami Bermain, Kami Belajar
Oleh: DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Namanya Oyok Indische, diambil dari gabungan bahasa Sanskerta dan
Belanda yang berarti ’perebutan Indonesia’. Permainan papan itu
dikemas ala kadarnya, memanfaatkan kardus bekas bungkus jam dinding
warna coklat, termasuk sampul gambar buatan sendiri dengan guratan
pulpen.
Di dalam kotak itu ada kertas karton yang dilipat jadi dua. Bagian
dalamnya ditempeli kertas yang dibasahi air teh sehingga bercorak khas
seolah lapuk dimakan usia. Kertas itu bergambar empat pulau besar di
Indonesia, yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, yang
terhubung garis. Pulau Jawa yang ada di bagian bawah dibagi dalam 28
kotak ukuran sama.
Chivalry Gunawan (13), Magali Shareef (13), Kelana Cahaya Muhammad
(13), dan Ananda Bintang Purwaramdhona (13) duduk mengelilingi kertas
itu dan mengeluarkan token di atas papan. Token berupa kertas karton
yang ditempeli penjepit kertas untuk dipasang wajah pahlawan nasional,
seperti Panglima Besar Soedirman dan Mohammad Hatta serta wajah
jenderal Belanda, misalnya Raymond Westerling.
Chivalry menjelaskan, permainan Oyok Indische yang mereka buat dibagi
menjadi dua babak, yakni balapan dan pertempuran. Dua pihak, Indonesia
dan Belanda, mengawali permainan dari sisi barat atau timur Indonesia
dan berusaha menempatkan token ke sisi seberang.
”Bergantian, kartu berisi fakta sejarah dibacakan. Jika sejarah
menguntungkan Indonesia, token bergerak satu langkah, begitu
sebaliknya,” ujarnya. Pemenang babak pertama punya keunggulan bergerak
pertama kali di babak berikut, yakni pertempuran di Jawa.
Tiap tim mendapat 10 pasukan yang bisa saling mengalahkan dengan
mendorong ke luar dari kotak pertempuran.
Adapun permainan Anderpati punya mekanisme berbeda, menempatkan pemain
demi menguasai kota di sejumlah pulau.
Layaknya permainan monopoli, pemain lawan yang melintas ke kota yang
dikuasai harus membayar pajak atau merebut lewat lemparan dadu. ”Di
tengah permainan, pemain harus bisa menjawab pertanyaan fakta-fakta
sejarah agar tak kena hukuman,” kata Darius Cristopher Ethan Samuel.
Ethan membuat permainan bernama Anderpati yang berarti ’pemberani’ itu
bersama empat temannya. Mereka menggabungkan mekanisme permainan
monopoli, trivia, dan kartu.
Riset
Membuat permainan papan merupakan bagian dari pendidikan berbasis
proyek yang dilakukan SMP Semi Palar di Bandung, Jawa Barat. Untuk
pelajaran sejarah kelas VIII, siswa harus belajar sejarah Indonesia
dari kebangkitan nasional hingga kemerdekaan. Jalan yang dipilih bukan
dengan membuka buku dan menghafal isinya.
Cecilia Btari Saraswati yang terlibat pembuatan mainan papan Pataka
menyatakan tertantang mengumpulkan fakta sejarah dari berbagai
referensi di buku dan internet. Terlebih saat ia mencoba bersama
keluarga di rumah dan bergembira sepanjang permainan.
Dinamika itu, menurut Andy Sutioso, Koordinator Utama Rumah Belajar
Semi Palar, merupakan hal menggembirakan. Para pelajar antusias
mencari bahan, menyusun permainan papan, dan menikmati tiap prosesnya.
”Mereka belajar dengan gembira,” kata Andy.
Gembira
Belajar sekaligus bergembira, dua hal itu tak selamanya bertolak
belakang. Hal itu dibuktikan Ethan dan rekan-rekannya yang mempelajari
sejarah Indonesia lewat permainan papan.
Scot Osterweil, creative director dari Massachusetts Institute of
Technology, berkeyakinan, mengemas pendidikan dalam bentuk permainan
lebih efektif untuk dipahami siswa. Dengan menekankan aspek bermain,
para siswa lebih mengembangkan kreativitas daripada sibuk menghafal
isi buku.
”Bergembira tak berarti pengajaran berlangsung dengan tawa. Bergembira
bisa berwujud kerja keras, mengatasi tantangan, diakhiri kepuasan
karena berhasil melampauinya,” kata Osterweil. Salah satu proyek yang
pernah dikerjakan Osterweil adalah Vanished, permainan daring, yang
dimainkan 3.000 anak di Amerika Serikat.
Para pemain menerima pesan dari masa depan yang memberi tahu
malapetaka yang menimpa bumi sekaligus cara mencegahnya. Instruksi
yang diterima itu menggiring para pemain mengunjungi museum,
berbincang dengan para ilmuwan untuk mempelajari berbagai topik ilmu
pengetahuan alam.
Tantangan para pengajar saat ini, lanjut Osterweil, adalah menyalurkan
aktivitas bermain ke hal bermakna tanpa mengekang kebebasan dari
permainan itu sendiri. Tiap pengajar harus paham permainan yang
menarik minat siswa dan memfasilitasinya, bukan malah mendikte.
Desainer permainan Eko Nugroho mengungkapkan, masalah di Indonesia
adalah mainan pendidikan gagal memberi aspek permainan sekaligus
kehilangan makna pendidikan. Alasannya sederhana, yakni desain.
”Seolah isi buku dijadikan permainan dan masalah selesai,” ujarnya.
Sebuah permainan punya tujuan, cara bermain agar tujuan mudah
tercapai, narasi, dan medium. Kehilangan satu faktor saja membuat
permainan tak efektif.
Deta Ratna Kristanti, kurator Bincang Edukasi, sepakat, pengajaran
harus melibatkan metode yang menggembirakan. Semua tergantung pada
kreativitas pengajar untuk memfasilitasi anak didik mereka.