19-21 Oktober 2016
Di tengah era modernisasi dan globalisasi seperti sekarang ini, keberadaan kampung adat mendapat banyak sekali tantangan. Hanya kampung adat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal lah yang mampu bertahan di tengah gempuran situasi sosial saat ini. Konsep “Ngindung ka Waktu, Mibapa ka Zaman” adalah sebuah pilihan masyarakat kampung adat dalam mempertahankan kebudayaannya. Bukan sepenuhnya menolak kemajuan zaman, tapi lebih bagaimana mampu mengikuti tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial yang terdapat dalam amanah leluhur.
Untuk memahami situasi tersebut, teman-teman Vaquita melakukan sebuah ekspedisi kampung adat. Tahun ini Kampung Naga adalah tempat yang dipilih untuk memahami lebih dalam terkait pengaruh modernisasi dan globalisasi terhadap nilai-nilai kearifan lokal serta berbagai upaya dalam mempertahankannya. Teman-teman mempunyai waktu selama 3 hari 2 malam untuk mampu merasakan secara langsung nuansa Kampung Naga. Kondisi kampung yang tanpa listrik menghadirkan kesan tersendiri bagi teman-teman.
Di hari pertama teman-teman mempunyai kesempatan untuk berkeliling kampung sambil melihat pola pemukiman serta arsitektur bangunan yang masih dipertahankan sampai saat ini. Dari posisi paling atas perkampungan teman-teman dapat melihat hutan larangan yang terdapat di tepi Sungai Ciwulan. Hutan yang masih asri dan terjaga terlihat dari rimbunnya pohon yang hidup di daerah tersebut. Jangankan untuk mengambil secara langsung tanaman atau pohon, mengambil batang pohon yang tumbang pun tidak diperbolehkan. Selain sesuai dengan amanat leluhur hal tersebut juga sesuai dengan kaidah keilmuan yang ada, bahwa tumbuhan yang mati nantinya akan menjadi kompos dan menambah kualitas tanah di tempat tersebut. Selain wilayah hutan larangan, dari tempat yang cukup tinggi tersebut juga bias terlihat pola pemukiman yang teratur, rumah yang saling berhadapan satu sama lain tujuannya agar interaksi sesama penduduk dapat terjaga. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya bahwa rumah tinggal di kawasan Kampung Naga didominasi oleh material alam. Atap terbuat dari ijuk atau pelapah kelapa kering, dinding terbuat dari bilik bambu, kolom terbuat dari kayu, dan pondasi terbuat dari batu, dan lain-lain. Selain ada aspek lingkungan, dalam proses membangun rumah di Kampung Naga juga melibatkan aspek ekonomi dan sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bangunan rumah tinggal di Kawasan Kampung Naga merupakan bangunan yang berkelanjutan (sustainable building). Di bagian depan kampung terdapat kawasan kotor. Kawasan tersebut letaknya bersebelahan dengan Sungai Ciwulan yang sekaligus menjadi salah satu batas Kampung Naga. Bangunan yang terdapat di kawasan kotor umumnya merupakan bangunan penunjang. Bentuknya sederhana dengan bahan-bahan berasal dari alam sekitar. Antara lain tempat pancuran yang biasa digunakan untuk mandi dan cuci serta keperluan sehari-hari lainnya, kandang ternak, saung lisung dan kolam.
Di hari kedua, teman-teman mengikuti kegiatan penduduk sekitar, seperti pergi ke sawah, belajar karinding dengan Abah Usup, membuat kerajinan dari kayu bersama Mang Henhen, berinteraksi dengan wisatawan yang lain serta berdiskusi dengan Pak Ade Suherlan selaku kuncen Kampung Naga. Memang di hari kedua ini teman-teman difokuskan untuk melakukan riset terkait berbagai nilai kearifan lokal yang ada di Kampung Naga serta upaya-upaya dalam melestrasikannya. Tanpa dipungkiri masyarakat Kampung Naga mendapatkan banyak sekali tantangan, melihat jarak yang tidak jauh dari jalan utama sehingga banyak wisatawan yang berkunjung. Padahal mereka mengakui bahwa Kampung Naga bukan tempat wisata, tapi tempat untuk belajar dan memahami nilai-nilai kearifan lokal. Sehingga mereka berharap orang yang datang bukan hanya sebatas menonton kebudayaan mereka, namun menjadikan kebudayaan tersebut sebagai tuntunan dalam menjalani kehidupan.
Di hari ketiga teman-teman mendapatkan kesempatan untuk memperdalam topik-topik spesifik yang menjadi minatnya. Ada yang memperdalam mengenai sistem pertanian dan pengelolaan tanaman pangan, arsitektur bangunan sunda, alat musik karinding, cempor, sistem pengelolaan air, dll. Topik yang berbeda satu sama lain mendorong teman-teman untuk lebih berani dan mandiri dalam melakukan riset. Mencari narasumber yang sesuai dengan topik yang dipilih menjadi tantangan tersendiri bagi teman-teman. Tepat pukul 14.00 WIB teman-teman dengan sedikit terpaksa harus kembali ke Bandung. Suasana kampung yang asri dengan penduduknya yang someah hade ka semah membuat sedikit berat untuk meninggalkan Kampung Naga.
Semoga 3 hari 2 malam yang sudah mereka lalui dalam menyerap nilai kebaikan tradisi leluhur mampu menjadi sebuah kepingan jati diri bangsa yang dijalankan dengan penuh kesadaran sehingga terdorong untuk saling menguatkan ditengah gempuran budaya luar yang seringkali membuat lupa siapa diri kita sebenarnya.
Catatan Proses: Kak Diki
Ada juga tulisan punya Kak Nala, mangga diintip http://nalanandana.com/ke-kampung-naga-lagi/