15 September 2016
Kearifan Ekologis Kampung Adat Cireundeu
Kebudayaan merupakan sebuah respon manusia dalam menanggapi berbagai fenomena yang muncul dalam keseharian. Respon tersebut biasanya dimunculkan lewat sebuah gagasan yang bersifat bijaksana serta bernilai baik untuk kemudian diikuti oleh masyrakat setempat, bahasa lainnya yaitu kearifan lokal. Kampung adat Cireundeu merupakan tempat pertama bagi kelompok Vaquita untuk memahami lebih dalam mengenai kearifan lokal yang berkembang di masyrakat kampung adat.
Konsep pelestarian ekologi di kampung adat Cireundeu masih dipegang teguh oleh masyrakatnya sampai saat ini. Mereka membagi wilayah hutan menjadi 3 bagian, yaitu leuweung larangan, leuweung tutupan serta leuweung baladahan.
Menjadi pengalaman yang menarik ketika kelompok Vaquita mempunyai kesempatan untuk membaca dan merasakan langsung keasrian yang dihasilkan dari keteguhan masyrakat dalam mempertahankan nilai kearifan lokal. Berjalan memasuki hutan tanpa alas kaki, menghirup udara segar yang dihasilkan oleh lebatnya hutan, mengenal berbagai jenis pohon, mendengar nyanyian burung yang saling bersahutan, menikmati buah campoleh dari pohonnya, membuat permainan tradisional dari bahan alam, serta alunan musik karinding yang dimainkan oleh Kang Yana dan Kang Tri seolah-olah menjadi pelengkap perjalanan spiritual dalam mensyukuri karunia-Nya saat itu.
Harapannya dari perjalanan ini, kami bisa semakin yakin dan sadar akan pentingnya hidup berdampingan dengan alam. *Walagri bibit saati, Waluya kedal ku ucap, Punahna ku laku diri* (selarasnya niat, ucapan dan perbuatan). Prinsip ini seyogiyanya menjadi panutan bagi kita semua dalam menjalani kehidupan yang tidak pernah kita ketahui kapan akan berakhir.
Tradisi Pangan Kampung Adat Cireundeu
Hal yang menarik lainnya dari kampung adat Cireundeu yaitu mengenai tradisi pangan yang masih dipertahankan sampai sekarang. Mereka mengkonsumsi singkong sebagai makanan pokoknya. Perkebunan singkong yang terhampar luas sepanjang perjalanan menuju hutan menjadi salah satu bukti mereka sudah menjalankan swasembada pangan.Terlibat langsung dalam proses pengolahan singkong dari awal, sampai mencicipi beberapa produk akhir menjadi pengalaman tersendiri bagi mereka. Di balik proses tersebut teman-teman semakin menyadari bahwa terkadang rasa syukur itu baru datang ketika kita merasakan langsung sulitnya mengolah makanan dari awal sampai akhir.
Catatan proses: kak Diki