Ken Arok di Pendopo Smipa


wpid-c360_2015-05-22-10-31-25-492.jpg Siang tadi, terjadi hingar-bingar di Pendopo Smipa. Hadir sekelompok Aa dan Teteh yang berinteraksi, beradu peran di dalam setting artistik yang sederhana, ‘dikurung’ daun-daun jati yang diserak di atas lantai, dilatari batang2 bambu yang digantung sebagai latar. Berbagai permainan bunyi ditimpali celoteh saling merespon antar mereka yang beraksi di tengah pendopo. Hadir teman2 dari berbagai kelompok, mulai dari Lada Hitam hingga Kemangi – dari SD Kecil hingga SMP dengan masing-masing cara mereka mengapresiasinya.

‘Petualangan Ken Arok’ adalah lakon yang dimainkan oleh kelompok Main Teater dibawah pimpinan kang Sahlan Bahuy (sutradara). Main Teater mampir di Pendopo Semi Palar karena kak Zulfa yang sedang magang di kelompok Jintan adalah penulis naskahnya. Atas gagasan kak Zul inilah teman-teman di Smipa bisa berkenalan dengan Ken Arok, Ken Dedes dan tokoh2 di kisah kerajaan Tumapel ini.

Seusai pertunjukkan, dalam obrolan penutup dengan kang Bahuy, ada beberapa catatan menarik. Salah satunya, bagaimana interaksi dibentuk antara penonton dan pemain. Lakon Ken Arok hari ini dibawakan dalam setting Teater Rakyat, di mana batas antara pemain dan penonton dibaurkan sejauh mungkin. Secara sadar, Adit dan kawan-kawan aktor berusaha membangun interaksi dengan anak-anak. Mereka dilibatkan memunculkan suasana dan merespon situasi yang tercipta di atas panggung. Anak-anak smipa sendiri diapresiasi secara khusus oleh kang Bahuy karena sangat responsif terhadap hal-hal yang dimunculkan para aktor di panggung. Belum lagi lakon yang dibawakan lewat heuheureuyan (canda) ala longser untuk menghantarkan adegan demi adegan meresap ke ruang penghayatan para penonton…

wpid-c360_2015-05-22-10-15-44-121.jpg

Saat bertanya-tanya tentang persiapan, terasa sekali bagaimana sutradara dan para aktor menyadari betul posisi teman-teman Smipa (anak-anak) sebagai penontonnya. Bagaimana mereka mengemas adegan2 cerita Ken Arok yang sebetulnya ‘keras’ agar bisa dikonsumsi anak-anak tanpa kehilangan makna atau mengubah alur cerita. Ini bukan hal yang mudah. Buat anak-anak kita, hari ini sulit sekali kita menemukan produser atau kreator konsumsi tontonan anak-anak yang berpikir keras bagaimana menyajikan hal-hal semacam ini sesuai dengan pola dan cara berpikir anak-anak yang sedang bertumbuh. Kang Bahuy bilang, “Adegan semacam ini (pembunuhan Tunggul Ametung misalnya, tidak mungkin dieksplisitkan, tapi sekaligus juga tidak bisa dibuat ringan (main-main) supaya anak-anak tidak berpikir bahwa pembunuhan itu sesuatu yang ringan. Mengelola hal ini, memang bukan sesuatu yang mudah…

Terkait teater rakyat, ini juga jadi pemikiran tersendiri, karena bentuk kesenian yang dulu jadi bagian utuh dari dinamika kehidupan masyarakat, sudah hilang dari kehidupan masyarakat modern. Teater rakyat sebetulnya adalah salah satu ruang ekspresi estetika juga ruang ekspresi pemikiran dan perasaan rakyatnya. Karena pemain teater rakyat tidak berprofesi khusus sebagai pemain teater. Mereka adalah tukang kayu, petani dan pekebun – bagian dari anggota masyarakat. Saat ini teater2 kita saksikan di panggung, sangat berjarak dengan penonton. Teater disajikan di atas panggung tidak lagi di ruang publik di tengah masyarakatnya. Panggung teater jadi panggung hiburan (entertainment). Itupun saat ini di masyarakat kita sudah sangat jarang ditemui peristiwanya. Peristiwa kebudayaan sudah jadi komoditi – di mana sering kali kita perlu merogoh kocek untuk menyaksikannya.

Melihat respon teman-teman Semi Palar menyaksikan Petualangan Ken Arok kita boleh berpikir bahwa sangat penting mengembalikan peristiwa-peristiwa kebudayaan seperti tadi kembali ke tengah2 masyarakat kita. Kembali jadi bagian yang mengisi sisi batin masyarakat lewat beragam ekspresi dan apresiasi estetika yang memungkinkan. Mengingatkan pada jargon singkat tapi sangat mendalam yang sempat diungkap oleh seniman lukis Jeihan Sukmantoro “Estetika Membangun Etika”.

Terima kasih untuk lontaran gagasan kak Zul dan kehadiran kang Bahuy dan teman-teman dari Main Teater untuk mampir dan berlaga di pendopo Semi Palar – menjadikan rumah kami tempat terjadinya sebuah peristiwa budaya yang walau tampak sederhana mudah-mudahan bermakna buat kita semua.  Hatur Nuhun!

Tagged , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.